Demokrasi seharusnya menjadi sarana untuk memberdayakan masyarakat. Dibandingkan dengan sistem lain, demokrasi adalah sistem yang paling mampu menghormati hak-hak warga negara dan mendorong kedaulatan rakyat. Prinsip-prinsip demokrasi yang mulia ini seharusnya diwujudkan melalui pemilihan langsung untuk membangun hubungan mutualisme antara pemimpin dan rakyat. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa prinsip ini masih jauh dari tercapai. Banyak kepala daerah terpilih terlibat dalam tindak korupsi yang merugikan negara dan rakyatnya. Fenomena ini semakin menguat karena proses pemilihan kepala daerah seringkali tidak sesuai dengan harapan dan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya diemban.
Kasus kecurangan dan korupsi yang melibatkan kepala daerah terus meningkat. Bahkan, menurut laporan terbaru, ratusan kepala daerah hasil Pilkada terjerat kasus korupsi. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa demokrasi langsung tidak mampu memberikan kesejahteraan yang diharapkan, mengapa proses Pilkada sering kali bermasalah, dan mengapa kepemimpinan yang terpilih rentan terlibat dalam tindak korupsi. Faktanya, proses Pilkada banyak terdistorsi oleh transaksi politik, biaya politik yang tinggi, dan intervensi oleh DPRD. Selain itu, rendahnya pendapatan resmi seorang kepala daerah juga menjadi faktor penyebab utama korupsi di tingkat kepala daerah.
Kondisi ini menuntut perhatian serius dari para pemangku kebijakan untuk melakukan perubahan yang menyeluruh. Kurangi transaksi politik, biaya kampanye yang tidak wajar, dan tekanan dari DPRD dapat menjadi langkah awal untuk mengurangi tingkat korupsi dalam pilkada. Jika semua pihak, termasuk partai politik, calon kepala daerah, dan penyelenggara Pilkada, memahami dan berkomitmen untuk mengubah kondisi ini, maka harapan untuk menciptakan kepala daerah yang bersih dan berkualitas masih ada. Akhir kata, budaya politik dan kesejahteraan masyarakat juga perlu ditingkatkan agar demokrasi yang sehat dapat terwujud.